GATRA.com - BEBERAPA jam setelah armada udara Amerika Serikat melakukan sorti-sorti awal pemboman ke Afghanistan, Ahad pekan lalu, wajah Osama bin Laden, target utama serangan itu, muncul tiba-tiba di rumah-rumah penduduk Amerika. Stasiun-stasiun televisi berita Amerika, seperti CNN, NBC, dan CBS, berulang-ulang menayangkan rekaman video orasi Bin Laden.
Lewat orasinya, Osama terang-terangan memuji serangan yang menghancurkan Menara Kembar World Trade Center New York dan Pentagon, 11 September lalu. Dengan tenang, Osama bin Laden mengingatkan pendengarnya pada penghinaan yang selama ini diderita kaum muslimin. ''Apa yang kini dirasakan Amerika cuma tiruan ringan dari apa yang selama ini kita rasakan,'' katanya.
Dalam rekaman yang ditujukan pada kaum muslimin itu, Osama bin Laden berulang kali menyitir ayat-ayat suci Al-Quran. Ketika mengomentari serangan pemboman Amerika, Osama bersumpah. ''Bangsa Amerika harus tahu, mereka tak akan lagi bisa hidup aman dan damai, sepanjang kedamaian dan keamanan belum dimiliki kaum muslimin di tanah air mereka dan di Palestina,'' katanya.
Tak jelas, kapan video pidato Osama bin Laden itu direkam. Yang pasti, isinya sudah disiapkan sebagai reaksi atas serangan udara Amerika. Yang tak banyak diketahui khalayak, walau akhirnya menayang di berbagai stasiun berita Amerika, video rekaman pernyataan Osama bin Laden ini sempat membuat stasiun-stasiun televisi berita terkemuka Amerika ''berperang''.
Pasalnya, rekaman video itu adalah milik eksklusif stasiun televisi satelit berbahasa Arab, Al-Jazeera, yang berbasis di Doha, Qatar. CNN, yang mengikat perjanjian khusus dengan Al-Jazeera, awalnya memberi peringatan pada stasiun-stasiun berita saingannya agar tak menayangkan video ini, paling tidak enam jam setelah penayangan pertamanya di CNN.
Ancaman CNN untuk mengajukan pelanggar peringatannya ke meja hijau ternyata tak menciutkan nyali para pesaingnya. ''Penayangan rekaman Al-Jazeera ini merupakan kepentingan nasional, tak bisa dikalahkan oleh kepentingan bisnis CNN,'' kata Jeffrey Schneider, juru bicara stasiun televisi ABC.
Saham Mayoritas Emir
HAMPIR seluruh stasiun televisi Amerika akhirnya tak ada yang menggubris ancaman CNN. Mereka langsung menayangkan berulang-ulang rekaman video Osama bin Laden, segera setelah merekamnya dari siaran satelit Al-Jazeera. Bagi Al-Jazeera, perebutan rekaman video pidato Osama bin Laden itu makin mengharumkan nama stasiun televisi ini.
Dalam soal liputan mengenai Afghanistan, Al-Jazeera memang boleh menepuk dada. Stasiun televisi swasta yang sebagian besar sahamnya dimiliki Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, ini merupakan satu-satunya televisi yang bisa melaporkan situasi terakhir Afghanistan dari wilayah yang dikuasai pemerintahan Taliban.
Sejak 19 September, ketika Taliban mengusir seluruh jurnalis asing dari Kabul, hanya dua koresponden Al-Jazeera yang diizinkan tinggal. Tiga jurnalis lain yang masih diizinkan menjalankan pekerjaan liputan bagi kantor berita Reuters, Agence France Presse, dan Associated Press adalah warga lokal Afghanistan.
Dalam sejarah, rekaman gambar Al-Jazeera berkali-kali menjadi satu-satunya sumber eksklusif stasiun televisi dunia. Pada Januari 2001, misalnya, Al-Jazeera merupakan satu-satunya televisi yang memiliki rekaman pesta pernikahan putra Osama bin Laden di Kandahar. Sebelumnya, juga cuma Al-Jazeera yang punya rekaman gambar proses penghancuran patung Buddha Bamian.
Kali ini, Al-Jazeera juga menjadi satu-satunya televisi yang bisa mengirim gambar pemandangan langit kota Kabul ketika pemboman Amerika berlangsung. Toh, prestasi jurnalistik Al-Jazeera tak selalu mengundang pujian. Para petinggi Amerika secara terbuka, Selasa pekan lalu, menyatakan kekesalan terhadap Al-Jazeera.
Stasiun televisi ini dinilai menyiarkan propaganda anti-Amerika secara berlebihan. Penayangan berkali-kali rekaman orasi Osama bin Laden dipandang sebagai pengudaraan cerita-cerita membakar yang tanpa dasar. ''Kami tentu saja menginginkan Al-Jazeera meredakan retorika itu,'' kata Richard Boucher, juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.
Menyediakan Ruang Anti-Amerika
SEBENARNYA tak hanya pejabat sekelas Richard Boucher yang mengajukan keberatan. Menteri Luar Negeri Amerika, Colin Powell, malah telah mencoba membujuk pemilik Al-Jazeera, Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, agar bersedia menggunakan pengaruhnya untuk melunakkan nada anti-Amerika dalam tayangan-tayangan Al-Jazeera.
Permintaan Powell disampaikan ketika Sheikh Hamad bin Khalifa berkunjung ke Washington, pekan lalu. Sebenarnya, sudah lama para pejabat Washington terganggu oleh kinerja Al-Jazeera. Salah satu keberatan muncul ketika Al-Jazeera mengulang-ulang penayangan wawancara eksklusifnya dengan Osama bin Laden pada awal 1999.
Pasalnya, dalam wawancara yang dilangsungkan Desember 1998 itulah untuk pertama kalinya secara terbuka Osama mengajak kaum muslimin menjadikan seluruh bangsa Amerika sebagai target pembalasan. Al-Jazeera juga tak pernah ragu untuk menyediakan ruang dalam program-programnya bagi analis dan narasumber yang sangat anti-Amerika.
Kepada pers, Sheikh Hamad bin Khalifa mengaku menghargai keberatan Colin Powell, dan bersedia mendengar ''nasihat bersahabat'' yang disampaikan. Tapi, Sheikh Hamad bin Khalifa sudah punya jawaban. ''Dalam dua tahun mendatang, Qatar akan punya kehidupan parlementer dan demokrasi yang mensyaratkan pers harus bebas, dan harus diizinkan menikmati kredibilitasnya,'' katanya.
Sheikh Hamad tampaknya tak mau mempengaruhi kebijakan editorial Al-Jazeera. Sejak mendirikan stasiun televisi ini, Sheikh Hamad bin Khalifa memang membebaskan kebijakan editorial Al-Jazeera ke tangan para jurnalisnya. Bagi Emir Qatar ini, Al-Jazeera adalah salah satu mercusuar keberhasilannya memimpin Qatar.
Kelahiran Al-Jazeera --yang secara harfiah berarti ''Semenanjung''-- bermula pada 1995, ketika British Broadcasting Corporations (BBC) yang tangguh dalam liputan televisi berbahasa Arab menandatangani perjanjian dengan Orbit Communications milik Kerajaan Arab Saudi. Kedua pihak setuju membentuk layanan berita televisi berbahasa Arab untuk Middle East Channel.
Mengekspor Kebebasan Dunia Arab
KERJA sama itu layu sebelum berkembang. Keinginan BBC untuk memiliki kebebasan editorial tak bisa dipenuhi Pemerintah Arab Saudi. Kerajaan Saudi tak mau mengizinkan isu kontroversial, seperti kegiatan kaum pembangkang atau eksekusi hukuman mati, diberitakan. Ketika pada 1996 BBC nekat menayangkan liputan mengenai hukuman pancung, Orbit pun membatalkan kesepakatan.
Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, yang ketika itu baru saja naik tahta setelah mengudeta ayahnya, tak mau melewatkan peluang. Awalnya, ia disarankan mengambil alih saham Kerajaan Saudi, dan meneruskan jalannya perusahaan yang beroperasi dari London itu. Tapi, Sheikh Hamad bin Khalifa punya wawasan lain.
''Kenapa harus di London, kenapa tak di Doha saja?'' kata Sheikh Hamad. Maka, selang beberapa bulan setelah batalnya kesepakatan BBC-Orbit, ia mendirikan Al-Jazeera. Seikh Hamad merekrut seluruh anggota tim berita berbahasa Arab BBC. Editor, reporter, dan teknisi BBC inilah yang kemudian membangun embrio Al-Jazeera.
Untuk biaya operasional Al-Jazeera selama lima tahun pertama, Sheikh Hamad mengucurkan dana tak kurang dari US$ 140 juta. Rencananya, setelah periode lima tahun itu, Al-Jazeera mampu berdiri sendiri. Pada kenyataannya, modal itu tak cukup. Setiap tahun, Sheikh Hamad masih mengucurkan dana tak kurang dari US$ 100 juta.
Penanaman modal besar itu jelas tak sia-sia. Lewat Al-Jazeera, keemiran mungil Qatar berhasil memproduksi dan mengekspor komoditas yang paling diinginkan di seluruh dunia Arab: kebebasan. Sejak Al-Jazeera memulai siaran perdana, November 1996, negeri gurun mungil ini telah keluar dari kategori negeri kaya yang cuma bisa pengekspor gas alam dan minyak.
Kini, Qatar adalah pengekspor sinyal digital yang bisa jadi bakal mengubah tata politik kawasan Timur Tengah. Tak perlu waktu lama, Al-Jazeera sudah menggeser dominasi stasiun televisi lain di kawasan ini. Dari Iran hingga Israel, pemirsa Al-Jazeera terus meningkat. Bahkan di Amerika dan Eropa, masyarakat berbahasa Arab pun telah mulai memilih Al-Jazeera.
Menabrak Semua Tabu
DIPERKIRAKAN, tak kurang dari 35 juta pasang mata menjadi pemirsa rutin tayangan-tayangan Al-Jazeera. Sebagai sebuah televisi berita, Al-Jazeera mirip CNN --hanya saja, ia beroperasi dalam bahasa Arab. Selama 24 jam, saluran ini menayangkan berita yang di up-date setiap setengah jam, diselingi program-progran feature dan talk show.
Tapi, jika cuma itu, Al-Jazeera bukanlah satu-satunya televisi berita di Timur Tengah. Yang membuat Al-Jazeera berbeda adalah keberaniannya menayangkan topik-topik yang dihindari saluran lain di Timur Tengah. Hampir semua hal yang dipandang tabu masyarakat Arab ''ditabrak''. Misalnya debat tentang seks, hak perempuan dalam Islam, dan demokrasi di negeri-negeri Arab.
Pro-kontra normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel juga enteng saja menghiasi jam-jam siaran Al-Jazeera. Saluran televisi satelit ini juga kuat pada program-program debat, serta wawancara satu lawan satu dengan figur-figur penting. Seperti halnya Osama bin Laden, figur-figur yang diwawancarai Al-Jazeera seringkali kontroversial.
''Kami percaya pada objektivitas, integritas, dan penayangan seluruh sudut pandang. Dan itu termasuk memberi waktu baik pada George W. Bush maupun Osama bin Laden,'' kata Ahmed Sheikh, salah satu editor Al-Jazeera. Dan selama ini, Al-Jazeera terbukti tak pernah takut memilih-milih narasumber dan tamunya.
Beberapa bulan lalu, misalnya, warga Mesir kaget ketika Al-Jazeera mendatangkan Adel Abdel Meguid, pelaku pemboman turis di Mesir, sebagai tamu dalam acara Al-Ittijahul-ma'akis (''Arah yang berlawanan'' --Red.). Program ini juga pernah menghadirkan Yaser Sirri, warga Mesir yang dihukum mati karena percobaan pembunuhan terhadap mantan Perdana Menteri Atef Sidki.
Pembangkang Maroko, Ahmed Rami, yang dua kali mencoba melakukan kudeta terhadap Raja Hasan II, juga pernah diberi ruang cukup lama oleh produser Al-Jazeera untuk membeberkan pandangannya. Para editor Al-Jazeera memang kelihatan tak pernah ragu menampilkan isu-isu kontroversial, betapapun itu membuat merah kuping para penguasa Timur Tengah.
Salad Seks, Agama, dan Politik
AKIBATNYA, hampir semua pemerintahan di Timur Tengah pernah dibuat kesal oleh saluran televisi ini. Sudah tak terhitung berapa kali Kerajaan Arab Saudi gusar karena invasi pemikiran bebas dari negara tetangganya ini. Koran Al-Akhbar, yang kerap menyuarakan suara resmi Pemerintah Mesir, sempat melakukan kampanye anti-Al-Jazeera.
Koran ini mengkritik keras Menteri Penerangan Mesir, Safwat Sherif, yang menolak menutup kantor Al-Jazeera Biro Kairo. Koran lain di Mesir malah ada yang menyebut program-program Al-Jazeera sebagai ''program-program kuning'', karena stasiun itu menyajikan ''campuran sinis salad seks, agama, dan politik'' yang diberi bumbu ''penyedap rasa sensasionalitas''.
Tapi, betapapun kesalnya, Presiden Mesir Husni Mubarak tetap tak bisa menolak rasa ingin tahunya yang besar. Ketika berkunjung ke Doha, awal tahun lalu, ia memilih kunjungan ke studio Al-Jazeera sebagai salah satu acara resmi kunjungan kenegaraannya.
Kekesalan Yasser Arafat pada Al-Jazeera lain lagi. Pemimpin Palestina ini sempat gusar ketika Al-Jazeera menayangkan berulang-ulang seolah tak berhenti wawancara panjang dengan pemimpin spiritual Hamas, Sheikh Ahmad Yassin. Sementara Yassin sendiri justru terang-terangan menyatakan tak suka pada beberapa pertanyaan yang diajukan Al-Jazeera.
Warga Suriah juga kerap memprotes Al-Jazeera, karena saluran televisi ini sering mewawancarai para politikus Israel. Tapi, sebaliknya, banyak organisasi Yahudi di Amerika Serikat --di antaranya Wiesenthal Center di Los Angeles-- selalu memprotes Al-Jazeera karena menganggap terlalu kentaranya nada anti-Semit dalam siaran-siaran Al-Jazeera.
Boleh jadi, Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa cukup berbangga hati menyaksikan segala kehebohan yang diakibatkan Al-Jazeera. Sebab, berkat Al-Jazeera, emirat mungil ini memang tiba-tiba berubah menjadi pemain utama dalam papan catur regional Timur Tengah. Lewat Al-Jazeera, Qatar menjadi subjek iri hati negara Arab lain yang jauh lebih besar dan kuat.
Reporter Veteran Perang
UNI Emirat Arab, negeri dengan sumber dana paling melimpah di Timur Tengah, misalnya, tak mau kalah. Abu Dhabi telah meluncurkan saluran televisi satelit untuk menyaingi Al-Jazeera. Jutaan dolar telah dikucurkan pemerintah Abu Dhabi untuk menggaji para reporter profesional, menyiapkan program-program unggulan, serta membuka biro-biro di berbagai negara.
Tapi, hingga kini, stasiun televisi milik Uni Emirat Arab itu tak bisa menyaingi hegemoni Al-Jazeera. ''Boleh saja mereka berharap menyediakan tayangan seperti milik kami,'' kata salah seorang petinggi Al-Jazeera di Doha, ''Tapi, mereka takut pada kebebasan.'' Berbeda dengan Al-Jazeera, televisi Abu Dhabi itu memang menghindari hal-hal yang dipandang provokatif.
Dengan 350 editor, penyiar, dan reporter, serta dukungan sekitar 35 biro di seluruh dunia, Al-Jazeera mampu terus-menerus meliput dan menayangkan subjek-subjek yang dipandang sensitif, bahkan subversif, oleh dunia Arab. Dengan kebebasan editorial penuh ini, Al-Jazeera berhasil membangun citra sebagai sebuah stasiun televisi yang independen dan berani.
Kemampuan Al-Jazeera menghadirkan sikap yang tak partisan ini boleh jadi didukung oleh keragaman para pekerjanya. Dari seluruh pekerja Al-Jazeera, hanya staf administrasi dan sedikit teknisi yang berasal dari Qatar. Tim editorial stasiun televisi ini adalah kumpulan bakat berbagai negara di seluruh kawasan Arab.
Tak hanya berbeda asal negara, mereka juga memiliki pandangan politik berbeda. Wartawan majalah Israel, Jerusalem Report, yang berkunjung ke markas Al-Jazeera di Doha, sempat melaporkannya. Beberapa reporter Al-Jazeera ternyata pernah berperang beberapa tahun melawan pasukan Uni Soviet dalam barisan kaum Mujahidin Afghanistan.
Tapi, hebatnya, di Al-Jazeera, Mujahidin ini bersedia bekerja bahu-membahu dengan editor yang sekularis radikal. Boleh jadi juga, cuma di Al-Jazeera para editor yang menolak tegas kesepakatan damai dengan Israel bisa bekerja dalam tim yang sama dengan kru yang tegas-tegas menyatakan mendukung normalisasi hubungan dengan Israel.
Al-Jazeera di Indonesia
DI MARKAS Al-Jazeera, reporter asal Irak yang sangat membenci Saddam Hussein ternyata juga bisa bekerja beriringan dengan mereka yang setengah mati memuja Saddan Hussein. Kualitas profesional para jurnalis Al-Jazeera tampaknya memang bisa diandalkan. Jika sebagian besar editornya berasal dari BBC, reputasi korespondennya juga mencorong.
Hafez Mirazi, reporter Al-Jazeera di Washington, adalah contohnya. Mirazi mematangkan keterampilan jurnalistiknya di Voice of America selama 13 tahun, baik sebagai koresponden maupun produser. Hal ini membuat liputan jurnalistik Mirazi bisa diandalkan. Ia, misalnya, berhasil mewawancarai Menteri Luar Negeri Amerika, Colin Powell, enam hari setelah serangan 11 September.
Dalam wawancaranya dengan Mirazi itu, Powell sempat digiring untuk mengakui bahwa perasaan tertindaslah yang memberi minyak pada semua aksi terorisme. ''Saya bukannya orang yang tak berperasaan,'' kata Powell ketika itu. Peningkatan kualitas liputan juga terus dilakukan Al-Jazeera. Lihat saja soal liputannya di Indonesia.
Othman Al Battiri, 33 tahun, pria Palestina yang sejak Januari 2000 menjadi koresponden Al-Jazeera di Indonesia, mengungkapkan bahwa status perwakilan Al-Jazeera akan segera ditingkatkan. Sebelumnya, Al-Jazeera tak punya kantor tetap di Indonesia. ''Tapi, sekitar dua bulan lagi, salah satu ruangan di Deutsche Bank akan jadi kantor Al-Jazeera,'' kata Othman Al Battiri kepada Kholis Bahtiar Bakri dari GATRA.
Toh, tak ada gading yang tak retak. Walau dikenal berani menabrak segala tabu, tetap saja ada yang tak mau disentuh oleh Al-Jazeera. Isu subsidi berlebihan Pemerintah Qatar pada figur tertentu di kalangan keluarga emir masih bisa muncul. Tapi, penentang Sheikh Hamad bin Khalifa belum pernah diwawancarai Al-Jazeera
Kiriman abu ameerah