Jalan Kaki 18,000 km ke Tanah Suci
Muhammad Zafar Quadri Penduduk Dhandand, India Timur
Jalan Kaki 18.000 km ke Tanah Suci
KALAU ada pemilihan Hajj of the Year 1421 Hijriyah, mungkin Muhammad Zafar
Quadri adalah orangnya. Lelaki India berumur 60 tahun ini tiba di Tanah
Suci --tepatnya Mina pada 8 Dzulhijah 1421 atau 3 Maret 2001-- setelah
berjalan kaki menempuh jarak 18.000 (delapan belas ribu) kilometer. Sekadar
perbandingan, panjangnya Pulau Jawa (dari Ujung Kulon sampai Banyuwangi)
adalah 1.000 km.
Lelaki yang tampak kurus dan lemah ini adalah penduduk Kampung Jharia, Kota
Dhandand di Negara Bagian Jharkand, India bagian timur. Dari tanah
kelahirannya itulah dia menunaikan perjalanan impiannya: ziarah ke Tanah
Suci dengan jalan kaki! Jarak 18.000 km itu ditempuhnya dalam waktu dua
tahun, tentu saja dengan melewati berbagai negara.
Sebelum menunaikan niat "nekad"-nya itu, Zafar mendiskusikan rencananya
dengan keluarga dan kerabatnya. "Tak ada satu pun yang ingin bergabung
dengan saya. Mereka takut dirampok atau diterkam binatang buas di tengah
jalan," ujar Zafar dalam jumpa pers yang digelar Konsulat Jenderal India di
Jeddah 19 Maret lalu. Konjen India, Syed Akbaruddin merasa perlu mengundang
pers untuk mendengarkan kisah perjalanan Zafar ini.
Tak ada yang ikut tak jadi soal. Bulat tekadnya untuk melakukan petualangan
yang ia sebut sebagai "perjalanan keimanan" (a journey of faith). Pepatah
Inggris mengatakan a journey of thousand miles starts with one step
(Perjalanan ribuan mil selalu dimulai dengan satu langkah). Maka setelah
mendapat paspor di Patna (ibukota Negara Bagian Bihar di India), langkah
pertama itu ia lakukan pada 28 Mei 1998 dari kampungnya. Ayah empat anak ini
mendorong troli yang berisi kasur lipat, pakaian, selimut, makanan,
alat-alat masak, air dan obat-obat tradisional (jamu). Berat barang
bawaannya sekitar 120 kg.
Setiap hari ia berjalan 30 - 50 km, dari pagi hingga petang. Malam ia
habiskan dengan tidur, di pinggir jalan, di padang pasir, atau di hutan
sekalipun. Selama setahun ia melintasi kota-kota dan desa-desa India sebelum
akhirnya ia menginjakkan kaki di Lahore, Pakistan. Setelah tinggal sejenak
di Pakistan, ia pergi ke Karachi (masih Pakistan) dan tinggal di sana selama
enam bulan. Dari situ ia berjalan menembus Iran dan Irak, dan akhirnya
mencapai Jordania.
Di Amman (ibukota Jordania) ia meminta bantuan seorang staf diplomat India
di sana, Khrisnan Kumar, untuk mengusahakan visa haji. Khrisnan mengontak
Syed Akbaruddin di Jeddah. Selama sebulan di Amman, dia menunggu kepastian
visa dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Waktu menunggu itu ia gunakan
untuk mempelajari bahasa percakapan bahasa Arab. "Syukurlah, pengetahuan
bahasa Arab ini membantu kelancaran haji saya," ujarnya.
Setelah mendapat izin pemerintah Arab, akhirnya dia tiba di Mekah, bahkan ia
jadi tamu pihak pemda setempat. Zafar kemudian meneruskan perjalanan ke
Mina. Di kota itulah dia melihat bendera India berkibar di maktab jemaah
India. Di situ dia menjadi tamu Konjen India.
Pengembaraannya tidak berarti mulus. Ketika tiba di New Delhi, seseorang
memberinya peta perjalanan menuju Mekah. Tapi peta itu dirampas aparat.
"Aparat menyarankan saya untuk tidak menggunakan peta, karena saya bisa
dituduh sebagai mata-mata," jelasnya.
Akhirnya dia berjalan dengan berpedoman pada papan-papan penunjuk arah, atau
bertanya kepada orang lain. Syukurlah, kendati menempuh jalan berkelok,
bergunung, berawa, menembus rimba sekalipun, dia selalu tepat pada tempat
yang dituju.
Sepanjang perjalanannya, tak pernah ia dicegat perampok. Tapi toh gangguan
tetap saja ada. Di negara bagian Rajashtan, India sebelah barat, misalnya,
dia diserang gerombolan monyet liar. Di Hyderabad Pakistan, dia dicurigai
polisi dan sempat ditahan selama empat jam.
Binatang buas kerap ia temukan. Dia pernah bertemu dengan harimau lapar yang
sedang mencari-cari mangsa, tapi tak satu pun yang mengganggunya. Di sebuah
desa di Iran, seekor ular berbisa tiba-tiba menyelinap ke dalam pakaiannya.
"Tapi mahluk reptil yang panjangnya dua kaki itu lenyap tanpa menggigit
saya," kata dia.
Zafar sebetulnya bukan pria yang terlalu prima. Dia menderita penyakit
jantung. Namun, selama perjalanan ini, dia membuang obat-obatan jantung. Dia
juga tidak memakan buah-buahan karena tak tahan dengan rasa manis. "Kalau
lelah, maka saya mengolesi kaki dengan minyak jamu dan merendamnya dengan
air garam. Setelah itu, saya lanjutkan perjalanan," ujarnya.
Cuaca ekstrem di berbagai daerah yang dia lalui, tak membuat tubuhnya
ambruk. Bahkan berat badannya naik dari 42 kg menjadi 54 kg. Rasa ikhlas
menyebabkan perjalanan ini menjadi sebuah hiburan. Ia banyak menerima
bantuan dari penduduk daerah yang ia lalui.
Di kampungnya, Zafar adalah penjaga kuburan. Sebelumnya, selama 30 tahun ia
bekerja sebagai fotografer. Pada 1985, dia berhenti dari profesinya ini
karena --katanya-- memotret orang itu tidak etis. Lagipula dia sudah mulai
terserang penyakit jantung. Maka dia alih profesi menjadi kuncen kuburan
untuk menghidupi seorang istri dan empat anak. Kendati demikian sebetulnya
tidak miskin-miskin amat. Buktinya, saat langkah pertama itu, dia
mengantongi USD 4.000, cukup untuk ONH pp dengan naik pesawat. "Sejak kecil
saya bermimpi untuk melakukan perjalanan ke tempat-tempat suci," ungkapnya.
Tentu saja sebagai jemaah "aneh", dia menjadi sorotan kamera televisi dan
objek berita media cetak. Petualangannya disiarkan CNN, CNBC, atau oleh
media-media elektronik dan cetak di negara yang ia lintasi. Semuanya ia
lintasi dengan jalan kaki. Satu-satunya rute yang tidak ditempuhnya dengan
jalan kaki adalah ketika Konjen India memboyongnya dari Mekah ke Jeddah
untuk konferensi pers.
Musim haji sudah usai. Hari Minggu lalu ia dijadwalkan kembali ke tanah
airnya. Dengan pesawat? Tidak! Dia akan menempuh jarak 18.000 km lagi dengan
sikil alias jalan kaki lagi! "Saya sudah menawarkan tiket Air India untuk
kembali ke tanah air. Tapi ia menolak. Dia ingin pulang jalan kaki," ujar
Syed Akbaruddin.
Zafar akan mengambil rute yang agak berbeda. Kakek tua ini akan start
mendorong trolinya mulai dari Masjid Nabawi Madinah. "Saya akan melewati
rute yang agak berbeda dengan rute kedatangan saya. Saya ingin melewati
Palestina untuk menziarahi Masjidil Aqsha. Saya ingin berkunjung ke Karbala,
Nejef dan Kufa di Irak, juga beberapa tempat di Lahore dan Karachi,"
tandasnya.
Selain itu, sebetulnya ada alasan lain yang lebih mendalam bagi dia untuk
tidak naik pesawat. Sepanjang perjalanan dia merasa dibantu oleh banyak
orang. Kepada mereka ini, ia berjanji untuk mendoakan mereka di Tanah Suci.
Tidak cuma mendoakan orangnya, tetapi juga negeri dan kampung yang ia
lewati.
"Saya ingin kembali dan memberitahu mereka, bahwa saya telah mendoakan
mereka. Saya juga akan umroh dahulu untuk mendoakan ayah saya, negeri saya,
dan negeri-negeri yang saya lewati," ujarnya seperti dikutip Harian Arab
News.
Apakah Pak Tua kapok?
"Cita-cita dan mimpi saya telah menjadi nyata. Saya ingin kembali berhaji
dengan jalan kaki sedikitnya 10 kali lagi," kata lelaki yang tak selesai
pendidikan dasar ini. Ya, sepuluh kali lagi!
Entah di mana posisi Muhammad Zafar Quadri sekarang. Besok-besok kesunyian
padang pasir, gunung, hutan, pantai, rawa akan diusik irama gemericit roda
troli sang penziarah. Rute Timur Tengah hingga Asia Selatan akan kembali
dijejaki langkah-langkah kecil sang musafir. Tubuh Zafar akan kembali
dilingkupi keringat bau, mungkin juga darah luka. Tapi barangkali bau
keringat dan darah "si tercerahkan" adalah wewangian bagi Allah.
Bon voyage Zafar! Semoga kau selamat ke kampungmu untuk berbagi suka dan
duka perjalanan bersama istri dan anak-anak. (Widodo A/Budhiana/"PR")***
Berita Utama - Edisi 06 April 2001
................................
4 Februari 2002
:: Arkib Ada-ada Aje ::