Gadis Kecil
Tubuh itu
mengingatkan daku
sebatang pinang di desa sepi
kurus dan tinggi
ketika ribut besar
pohon sekitarnya rebah terkapar
dan pohon
pinang tegak menanti
sinar matari pagi
Demikianlah gadis kecil
itu
kurus seperti sebatang pinang
bertahun berulang-alik melalui
penjara kawat duri menemui
ayahnya yang bertahun pula sendiri
menentang tiap penderitaan
tabah dan beriman.
Gadis kecil
itu mengagumkan daku
tenang dan senyuman yang agung
dengan sopan
menolak pemberianku
'saya tak perlu wang, pak cik,
cukuplah kertas
dan buku.'
Usianya terlalu muda
Jiwanya didewasakan oleh
pengalaman
tidak semua orang mencapai kekuatan demikian
ketabahan
yang unik, mempesonakan.
Bila aku menyatakan simpati dan dukaku
rasa pilu terhadapnya
sekali lagi dia tersenyum dan berkata:
'jangan sedih, pak cik, tabahkan hati
banyak anak-anak seperti
saya di dunia ini.'
Aku jadi terpaku
dia, si gadis kecil itu
menenteramkan
mengawal ombak emosiku
jangan sedih melihat derita
pahitnya.
Alangkah malunya hati seorang lelaki dewas
yang mahu
membela manusia derita terpenjara
menerima nasihat supaya tabah dan
berani,
dari anak penghuni penjara sendiri?
Sepuluh anak
seperti dia
akan menghapuskan erti seribu penjara.
Kurang Ajar
Sebuah perkataan yang paling
ditakuti
Untuk bangsa kita yang pemalu.
Sekarang kata ini
kuajarkan pada anakku;
Kau harus menjadi manusia kurang ajar
Untuk
tidak mewarisi malu ayahmu.
Lihat petani-petani yang kurang ajar
Memiliki tanah dengan caranya
Sebelumnya mereka tak punya apa
Kerana ajaran malu dari bangsanya.
Suatu bangsa tidak menjadi
besar
Tanpa memiliki sifat kurang ajar.
Kekasih
Akan kupintal buih-buih
menjadi tali
mengikatmu
akan kuanyam gelombang-gelombang
menjadi hamparan
ranjang
tidurmu
akan kutenun awan-gemawan
menjadi selendang
menudungi rambutmu
akan kujahit bayu gunung
menjadi baju
pakaian malammu
akan kupetik bintang timur
menjadi
kerongsang
menyinari dadamu
akan kujolok bulan gerhana
menjadi lampu
menyuluhi rindu
akan kurebahkan matari
menjadi laut malammu
menghirup sakar madumu
Kekasih,
hitunglah mimpi
yang membunuh realiti
dengan syurga ilusi.
Penjual Air Batu
Pelan-pelan di pinggir
jalan kota,
Penjual air batu suaranya ditelan deru kereta,
Ia bisa
ditulikan dengan pekikan hon-hon,
Tuan-tuan yang terganggu bisa pula
menghamun.
Undang-undang ialah suatu kekuasaan,
Yang biasanya
untuk orang-orang bawahan,
Dan berseraklah orang-orang pakaian
seragam,
Memburu tangkapan yang 'melanggar aturan'.
Anak-anak
di bawah kolong, perutnya kosong,
Ah' ayah belum pulang, manakah dia?
Isteri menanti dengan hati separuh bingung,
Tunggulah, betapa ia
pulang jua.
(Sampai gelap merangkak menghampiri,
Penjual air
batu belum pulang lagi)
Tapi berapa kali tangkapan terjadi,
Ia
usahakan untuk berjual mencari rezeki.
Bilakah ruang keadilan
memberi isi,
Para penjaja dalam hayatnya wajah berseri?
Bila nanti
undang-undang jadi perlindungan,
Semua manusia tanpa kasta menerima
keadilan
Bunga Popi
Dari darah, dari nanah
yang punah di tanah,
Rangka manusia kehilangan nyawa disambar senjata,
Hasil manusia gila perang membunuh mesra,
Bunga merah berkembang
indah minta disembah.
Yang hidup tinggal sisa nyawa, penuh derita,
Kering, bongkok, cacat, tempang dan buta,
Perang dalam kenangan
penuh kengerian,
Sekarang dalam kepahitan, dalam kesepian.
Yang lain kehilangan anak, suami dan kekasih,
Hilang
pergantungan, hilang pencarian, hidup kebuluran,
Ribuan janda, ribuan
kecewa, ribuan sengsara,
Jutaan anak-anak yatim hidup meminta-minta.
Manusia gila perang telah membunuh segala mesra!
Perang
berlangsung mencari untung tanah jajahan!
Perang berlangsung membunuh
anak dalam buaian!
Perang berlangsung menghancur lebur nilai
kebudayaan!
Bunga popi bunga mayat perajurit bergelimpangan,
Bunga darah merah menyimbah, penuh kengerian,
Kami benci pada
perang pembunuhan!
Kami rindu pada damai sepanjang zaman!
Pak Utih
I
Punya satu isteri mau
dakap sampai mati,
Lima anak mau makan setiap hari,
Teratak tua
digayuti cerita pusaka,
Sebidang tanah tandus untuk huma.
Kulit tangan tegang berbelulang,
Biasa keluarkan peluh berapa
saja,
O Pak Utih, petani yang berjasa.
Tapi malaria senang
menjenguk mereka,
Meski dalam sembahyang doa berjuta,
Dan Mak Utih
bisa panggil dukun kampung,
Lalu jampi matera serapah berulang-ulang.
Betapa Pak Dukun dan bekalan pulang,
Wang dan ayam dara diikat
bersilang.
II
Di kota pemimpin berteriak-teriak,
Pilihanraya dan kemerdekaan rakyat,
Seribu kemakmuran dalam negara
berdaulat,
Jambatan mas kemakmuran sampai ke akhirat.
Ketika
kemenangan bersinar gemilang,
Pemimpin atas mobil maju ke depan,
dadanya terbuka,
Ah, rakyat tercinta melambaikan tangan mereka.
Di mana-mana jamuan dan pesta makan,
Ayam panggang yang enak
di depan,
Datang dari desa yang dijanjikan kemakmuran.
Pak
Utih masih menanti dengan doa,
Bapak-bapak pergi ke mana di mobil
besar?
Balada Terbunuhnya Beringin Tua Di Pinggir
Sebuah Bandaraya
Beringin tua di pinggir jalan raya
di
sebuah ibu kota yang setengah muda
ratusan tahun usianya berdiri
menadah matari memayungi bumi
burung-burung berterbangan menyanyi
di sini rumah mereka, di sini keluarga bahagia
kupu-kupu
berkejaran dalam senda guraunya
anak-anak bermain di keteduhan
perdunya.
Tiba-tiba pagi yang hitam itu datang
geregasi
teknologi menyerangnya
dengan kejam membenamkan gigi-gigi besi
sehingga terdengarlah jeritan ngeri
suara Beringin rebah ke bumi.
Sampai sekarang, tiap senjakala lembayung petang
dengarlah
suara Beringin mengucapkan pesan:
Selamat tinggal, selamat tinggal
wahai awan
Selamat tinggal matari selamat tinggal bulan
Selamat
tinggal kupu-kupu sayang
Selamat tinggal wahai burung-burung bersarang
Selamat tinggal anak-anak bermain riang.
Namaku Beringin pohon
tua yang terbuang
dimusuhi oleh rancangan bernama Pembangunan.
Satu Mei
Merekalah menyusun lapis-lapis besi
waja
Merekalah membina batu-bata
Membancuhnya dengan titik peluh
- bangunan tinggi itu masih jua meminta
lalu diberikanlah
nyawanya.
Merekalah yang menyedut udara kotor
Racun gas itu
berbaur di rongga
menjalari saraf pernafasannya
menghentikan detak
jantungnya
-segalanya untuk upah beberapa sen cuma.
Merekalah
membunyikan mesin-mesin kilang
debu dan serbuk logam berterbangan
hari demi hari berkumpul bersarang
di jantung dan paru-parunya
-jentera kilang itu masih lagi meminta
lalu kudunglah jarinya
lalu kudunglah tangannya
lalu kudunglah nyawanya
segalanya
untuk upah beberapa sen cuma.
Merekalah menggali perut bumi yang
sakit
lumpur dan pasir memenuhi tiap rongga
tanah lombong yang
selalu mengucapkan simpati
menimbusi membungkus tubuh para pekerja
melindunginya dari pemerasan kejam
-upah yang diterimanya sekadar
beras segenggam.
Merekalah mewarisi pusaka zaman
seluar
sehelai baju bertampal
tikar buruk di sudut bangsal
tulang
selangka dapat dibilang.
Mereka kini menyedari kekuatan diri
Mengubah wajah sebuah negeri
Menukar nama seorang menteri
Di
matanya api di tangannya besi.
Beberapa sajak Tongkat Warrant (Usmang Awang)
............................................
10 Disember 2001